Rabu, 02 Januari 2013

Deislamisasi Peran Ulama Dalam Sejarah Pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)

Setiap penjajah dalam upayanya mempertahankan eksistensinya selalu menggunakan tenaga pribumi baik di bidang sosial, politik, dan militer. Di bidang sosial-politik misalnya didirikan atau didukung organisasi-organisasi sosial politik yang mendukung dan menjadi corong penjajah. Dukungan pihak penjajah tentu saja bertujuan untuk memecah belah kekuatan rakyat jajahannya, agar sibuk berkelahi antar anak bangsa kemudian melupakan tujuan utama berperang melawan penjajah. Boedi Oetomo, misalnya. Organisasi yang didirikan dr. Sutomo itu adalah organisasi khusus bagi prijaji-prijaji jawa, selain bangsawan jawa tidak diperbolehkan menjadi anggotanya. 

 Boedi Oetomo bahkan menolak tuntutan para ulama dan mayoritas rakyat Indonesia yang menuntut Pemerintah Sendiri, Zelfbestuur,  dan Indonesia Berparlemen sebagai Keputusan National Congres Centraal Sjarikat Islam di Bandung, 17 – 24 Juni 1916 yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, dan Wignjadisastra yang bertujuan memperjuangkan Indonesia Merdeka. Penolakan serupa juga dilakukan oleh partai-partai sekuler seperti Partai Indonesia Raya (Parindra), dipimpin kemudian oleh dr. Soetomo sendiri, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Persatoean Indonesia (Parpindo) serta Partai Kristen dan Partai Katolik.

Hal tersebut dilakukan oleh bangsawan Jawa dikarenakan bila hal tersebut (Indonesia Merdeka) terwujud, maka posisi mereka sebagai elit-elit politk dalam struktur kekuasaan penjajah sebagai Bupati, Regent ataupun Wedana yang turut melanggengkan kekuasaan penjajah Protestan Belanda selama 3 abad, akan ikut terancam digantikan oleh Ulama yang dekat dan tinggal bersama dengan rakyat.

Begitu pula yang terjadi di zaman penjajahan Jepang. Jepang meniru East Indies Company (EIC), tangan penjajah Inggris di India yang membentuk bala tentara Gurkha, dan VOC yang membentuk Laskar Ambon, Madura, Maluku dsb, untuk digunaka melawan pemimpin-pemimpin daerah atau Sultan-Sultan yang berani menentang kehendak penjajah. Hal serupa juga dilakukan penjajah Perancis di Maroko untuk mempertahankan jajahannya.

Untuk itu melalui Beppan, Seksi Khusus Intelijan Nipon, Jepang mencoba membangun Pusat Latihan  Pemuda, Seinen Dojo di Tangerang dan dilatihlah 50 pemuda pada Januari 1943. Diantaranya adalah: Soeprijadi, Jonosewojo, Soeprapto, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Umar Wiranatakusumah dan Roekminto Hendraningrat, Moetakat Hoerip.

Hasil dari latihan Seinen Dojo ini, pada Juni 1943 didemonstrasikan di depan Jenderal Inada. Dari sini, Jepang yakin, perlunya segera direalisasikan pembentukan tentara pribumi. Menurut Nugroho Notosusanto1, berdasarkan keputusan bersama antara Beppan dan pimpinan tentara Jepang yang beragama Islam, Mohammad Abdul Muniam Inada, Abdul Hamid Ono dan Yanagawa diputuskan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang islami dan Daidancho (Komandan Batalyon) dipimpin oleh ulama.

 Keputusan untuk menyerahkan kepemimpinan Batalyon (Daidancho) kepada Ulama bukan tanpa alasan. Sebelumnya, 10 Ulama Jakarta mengadakan Tuntutan yang berbunyi: “Kaoem Moeslimin Indonesia toeroet meminta berdirinja Barisan Pendjaga Poelau Djawa”. Ke- 10 ulama tersebut adalah:
1.    KH. M. Mansoer
2.    K.R.H. Adnan
3.    Dr. H.A.K. Amaroellah
4.    Goeroe H. Mansur
5.    Goeroe H. Cholid
6.    KH. Abdoel Madjid
7.    Goeroe H. Jacoeb
8.    K.H. Djoenaedi
9.    Hadji Mochtar
10.    H. Moch Sobri

Kutipan Surat Kabar Asia Raya, Senin 13 September 1943

Ke-10 Ulama yang tinggal di Jakarta ini memberikan diri mengajukan surat permohonan kepada Saiko Shikikan (Panglima Militer Jepang di Indonesia) Letjen Kumashiki Harada dengan penekanan bahwa:

“Kaoem Moeslimin Indonesia, choesoesnja jang berada di Poelau Djawa, 350 tahun lamanja telah menderita kesengsaraan karena tindasan dan perasan pendjadjahan imperialisme Barat”

Selanjutnya ditambahkan:

“Semangat Kaoem Moeslimin hidoep kembali karena pertolongan Allah SWT dengan Balatentara Dai Nippon sebagai sebabnja. Kaoem Moeslimin Indonesia bersjoekoer kehadirat Allah SWT dan berterima kasih sesoenggoeh-soenggoehnja kepada balatentara Dai Nippon”

Pernyataan Sepuluh Ulama ini sebagai gambaran rasa bahagia karena cita-cita akan membangun organisasi kesenjataan modern yang diperjuangkan sejak National Congres Centraal Sjarikat Islam di Bandung, 17 – 24 Juni 1916, Indie Weerbaar, ditolak oleh pemerintah colonial Belanda, tetapi oleh Pemerintah Balatentara Jepang akan segera terwujud. Dalam suratnya, 10 Ulama tersebut menyebutkan nama Barisan Pendjaga Poelau Djawa adalah Barisan Pembela Islam. Nama ini muncul karena mayoritas penduduk Pulau Jawa beragama Islam.

Alasan Jepang memilih Ulama sebagai komandan juga bertolak dari kepentingan perangnya:
1.    Perang sangat memerlukan dukungan logistic. Desa-desa di Indonesia, terutama di Pulau Jawa adalah penghasil pangan. Banyak desa perdikan yang di pimpin oleh Ulama;
2.    Ulama desa umumnya tidak menjadi pimpinan parpol Islam. Lebih terkonsentrasi pemikirannya dan aktivitasnya menangani masalah ritual Islam daripada pembicaraan masalah kekuasaan politik atau kedaulatan Islam;
3.    Kehidupan desa masih kuat rasa solidaritasnya. Tidak terpengaruh dengan kehidupan kebaratan seperti di Kota Besar. Kehidupan desa masih murni,a gotong royong dan saling kerja sama;
4.    Gerakan perlawanan bersenjata terhadap penjajah Barat, dari kalangan tasawuf, banyak terjadi di desa-desa. Terutama di Jawa/ Jiwa tempur terbentuk melalui ajaran Islam yang mudah dikembangkan kalau diarahkan lawannya adalah penjajah Kristen;
5.    Dari sisi geopolitik dan territorial, letak desa dan hutan lindung di sekitarnya jauh dari pantai. Merupakan basis suplai pertahanan yang sangat strategis baik populasi ataupun kondisi alamnya yang bercirikan dekat dengan gunung, hutan, sungai, lading dan sawah.

Namun sebagaimana halnya penjajah Belanda, Pihak Jepang tidak mau menelan mentah-mentah tuntutan yang diajukan Ulama. Untuk itu, berdasarkan Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943, Saiko Shikikan Letjen Kumashiki Harada memutuskan tentang Pembentoekan Pasoekan Soeka-rela oentoek membela Tanah Djawa, antara lain disebutkan dalam pasal 1:

“Mengingat semangat jang berkobar-kobar serta djoega memenoehi keinginan jang sangat dari 50 djoeta di Djawa, jang hendak membela tanah airnja sendiri, maka Balatentara Dai Nippon membentuk Tentara Pembela Tanah Air ja’ni pasoekan soeka-rela oentoek membela Tanah Djawa dengan pendoedoek asli, ialah berdiri atas dasar tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama-sama”.

Disini dapat dilihat deislamisasi tuntutan ulama. Dari Barisan Pembela Islam diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air. Namun demikian tidak semua deislamisasi Jepang berhasil dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari Daidanki (Panji-panji) tentara PETA yang penuh dengan symbol keislaman yaitu Bulan Bintang Putih yang diletakkan di tengah lambing Matahari Terbit Merah.

Defile Pasukan Petan dengan Patakanya
Bendera Pasukan PETA


























Kemudian, dengan adanya Osamu Seirei No. 44, Jepang membentung Korps Latihan Perwira Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (Bo-oei Giyugun Kanbu Kyoikutai) di Bogor. Disinilah kawah candradimuka tempat ditempanya calon-calon pemimpin bangsa di masa depan, seperti Mr Kasman Singodimejo, Supriyadi, Sudirman, R.H. Abdoellah bin Noeh (Ulama Bogor), KH Sjam’oen (Ulama Banten), KH. Idris, dan sebagainya. Tidak hanya singa di medan tempur, mereka juga orang-yang sangat takut kepada Tuhan-Nya, sebab bukankah hanya Ulama orang yang takut kepada Tuhan-Nya (QS. Fathir: 29)

Maraji’:
1.    Nugroho Notosusanto, 1971. The Peta Army In Indonesia 1943-1945. Department of Defence And Security Centre For Armed Forces History. Jakarta, hlm. 6.
2.     Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah.